Warga Sempadan Bertransisi Jadi Pengekspor Rumput Laut, Ditopang 'Ikan' Sekaligus 'Kail' dari PLN Batam

- 15 Desember 2021, 20:56 WIB
Rengkam yang dijemur warga Amat Belanda, Belakangpadang, Batam.
Rengkam yang dijemur warga Amat Belanda, Belakangpadang, Batam. /Sudutbatam / Fadhil/

RUTINITAS warga Pulau Amat Belanda terasa berbeda sekitar setahun belakangan ini. Kehidupan mereka makin membaik sejak beralih dari nelayan menjadi pengolah rumput laut sebagai komoditas ekspor andalan. Ada peran PLN Batam yang mendukung transisi mata pencaharian, sekaligus memberdayakan warga yang mendiami gugusan pulau kecil di sempadan negeri tersebut. Harapannya, ekonomi warga kembali bangkit dan berbuah kesejahteraan.

FADHIL, Batam

Masih lekat dalam benak Azhari, warga Pulau Amat Belanda, Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, ketika sering membersihkan mesin tempel di kapalnya yang terbelit tanaman rumput laut coklat (Sargassum SP). Oleh warga sekitar, rumput laut coklat ini disebut rengkam. Tanaman ini sebelumnya banyak dikeluhkan karena kerap melilit mesin bagian bawah kapal para nelayan.

 Maklum, rengkam memang banyak dijumpai di sekitar perairan Pulau Amat Belanda. Tak hanya di perairan dalam, rengkam juga banyak ditemui di perairan dangkal menuju kawasan pesisir.

"Rengkam ini dulunya adalah gulma perairan, jumlahnya banyak dan sering dikeluhkan karena menghambat mesin kapal nelayan," tutur Azhari.

Suatu ketika, Azhari mendapatkan informasi bahwa rengkam ternyata mempunyai nilai ekonomi. Bahkan, tanaman perairan dengan bentuk menjulur panjang berwarna hijau kecoklatan tersebut, ternyata bernilai tinggi ketika diekspor ke mancanegara. Sehingga, muncul gagasan untuk mengoptimalkan pengolahan rengkam sebagai alternatif mata pencaharian.

Memang, sejak pandemi Covid-19 melanda, kehidupan ekonomi masyarakat Amat Belanda yang sebelumnya menggantungkan hidup sebagai nelayan, sangat terdampak dan makin sulit. Betapa tidak, dengan hasil tangkapan ikan yang tak begitu banyak, ditambah harga ikan yang saat itu turun drastis akibat melemahnya daya beli masyarakat, membuat ekonomi warga merosot. Belum lagi, ketika musim angin utara yang terjadi di setiap penghujung tahun, sehingga mengakibatkan ombak tinggi hingga 3 meter. Maka, mencari ikan jauh ke laut sama saja dengan mengadu nasib di tengah ganasnya gelombang.

Karena itu, Azhari tak tinggal diam. Bersama beberapa rekannya, ia mulai mengumpulkan dan mengolah rengkam. Di waktu yang hampir bersamaan, ia juga mencari cara agar produk tersebut bisa diekspor. Beruntung, ia menemukan akses untuk mengirim produk tersebut ke China dan Vietnam.

"Awalnya kami ingin menghidupkan ekonomi masyarakat, sehingga kami lakukan kajian untuk mengelola rumput laut coklat ini," kata Azhari yang kini menjadi Pembina Kelompok Nelayan Rumput Laut Amat Belanda tersebut.

Lambat laun, warga yang tinggal di pulau kecil yang berbatasan dengan Selat Singapura itu, sanggup mengumpulkan rumput laut cokelat sebanyak 200 ton per bulan. Komoditas tersebut kemudian diekspor ke China dan Vietnam untuk diolah menjadi pupuk dan makanan ternak.

Halaman:

Editor: Fadhil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x